Rindu itu mulai terkikis oleh waktu yang tertatih
berjalan.
Jika rindu itu air, saat ini aku sedang berenang
ke permukaan,
jika rindu itu laut, maka saat ini aku sedang
mencoba
meraih permukaan untuk berdansa bersama ombak
meraih pantaimu.
Apakah rindu ini akan sirna, punah dan musnah
saat pantaimu kuraih di permukaan, saat aku
terhempas ke dataran
setelah lelah menari nari bersama liarnya ombak.
Apakah rindu ini akan sirna dan musnah,
entah dibawa angin malam atau hilang oleh embun
pagi,
entah menguap bersama matahari atau terhempas
meresap kedalam bumi bersama hujan?
Iya, rindu ini bisa jadi akan musnah dan sirna, saat cinta
berbicara,
saat kau dan aku bertatap muka, saat aku ada di
pelukmu, ahhh
sepertinya rindu ini adalah rasa nikmat dari
perihnya sakit.
Nikmat karena aku bisa ungkapkan rasa,
menitipkan ratapanku bersama hujan, atau angin
malam,
terkadang aku ingin memusnahkanya dengan keji,
atau ?
aku biarkan diriku terombang ambing bersama rindu
?
menikmati setiap tetes perihnya terbang dengan 1
sayap ?
berenang dengan separuh nafas ?
mungkin aku akan merindukan rasa rindu ini
ketika engkau menerbangkanya ke negeri di awan..
Yaa, tidak akan ada rasa rindu sebesar ini nanti,
saat setiap detak jantungku adalah nafasmu,
saat setiap nafasku adalah darahmu,
saat kepak sayapku lengkap.
Itu karena setiap rindu yang lahir di dalam hati
akan selalu terhapus oleh cintamu, benarkah ?
Saat rindu musnah, engkau seperti penghapus
yang membersihkan kertas putihku,
kau warnai, kau hapus, kau warnai, kau hapus…..
Aku tidak akan memilih memiliki rindu
atau dekat bersamamu,
biarlah hujan yang menjawab pesannya,
biar hangatmu yang menjauhkanya atau penghapusmu
yang menghapusnya,
pantaimu yang jadikan teluknya.
Atau aku akan bersedih ketika rindu ini sirna?
hilang ditelan warna ?
karena indahmu memberikan corak
berjuta warna yang sanggup menyingkirkan sang
rindu
dan menyembunyikanya di tempat tergelap yang ada
di hatiku.
Karena cintamu telah menjadi penawar rindu yang
meracuni seluruh jiwaku,
menetralisir kata kata ku, melemahkan isyaratku,
dan menghentikan keliaran jeritan jeritan jiwa
yang perih.
Karena pantaimu adalah tempat selalu aku
berlabuh,
dermaga tempat aku ber istirahat,
setelah berjuang dengan bulir air liar samudra
yang menghempas
hempaskan kapalku
dan hanya di tempatmu aku akan terus berlabuh.
Mungkin kalau engkau adalah sang kompas,
arah mata angin itu hanya satu tertuju padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar