Definisi 'rindu' : merupakan kata sifat (adjective) dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa:
1 sangat
ingin dan berharap benar terhadap sesuatu: ia -- akan kemerdekaan;
2 memiliki
keinginan yang kuat untuk bertemu (hendak pulang ke kampung halaman) :ia --
benar kepada anak-istrinya;
-- jadi batasnya
maka manis tak jadi cuka, pb jangan terlalu mesra bergaul dengan
seseorang sebab pergaulan seperti itu kerap kali menimbulkan dendam
kesumat;
-- dendam sangat
berahi; menaruh cintakasih (kepada): -- dendam yangg telah sekian lama
terpendam dalam hati;
-- rawan rindu
dendam;
me·rin·du v 1 menjadi
rindu; menanggung rindu: kelakuannya seperti orang sedang ~; 2 bernyanyi
karena rindu;
me·rin·du·kan v 1 sangat
menginginkan dan mengharapkan (hendak bertemu): dia ~ kekasihnya; 2 menaruh
cinta kepada; 3 membangkitkan rasa rindu: nyanyian
yang merawankan dan ~ hati;
rin·du·an n sesuatu
yang dirindukan;
pe·rin·du n 1 buluh
yang tipis, biasa digunakan untuk suling; 2 pekasih;
guna-guna;
ke·rin·du·an n perihal
rindu; keinginan dan harapan (akan bertemu)
“Sayang,
mengapa aku selalu merindukanmu?”
“Karena
aku membutuhkanmu.”
Semalam ku bermimpi tentang seseorang, oh, pertanda daku teringat akan dirinya. Dan
rasa rindu itu hadir atas izin Allah. Mimpi itu terjadi pun atas izin Allah.
Satuan, puluhan, ribuan, jutaan, milyaran, atau bahkan
trilyunan cerita tentang rindu yang begitu menggebu tak mungkin bisa kutuliskan
di sini kata demi kata.
Kangen atau rindu seperti titik salju yang turun dari
langit.kian detik ia kian besar.ia bisa jadi energi positif,namun juga bisa
jadi bencana.apakah rindu atau kangen itu sebenarnya? Harus ada sebuah ruang
bagi kita untuk sedikit menengok kembali makna cinta, rindu, kangen agar kita
tidak menodainya dengan nafsu sesaat.
Saat aku tertawa di atas semua
cerita lucu, saat aku menangis di atas semua cerita sedih yang begitu
menderita, lara, nestapa, Allah selalu selalu ada menemaniku. Ya Rabb, aku
akan selalu memuja-Mu, selama aku masih bernafas dan masih sanggup berjalan.
Kepada Allah yang Maha Pembolak balik hati kitalah, rindu yang kita rasakan
kita kembalikan.
Sumber tulisan yang berasal dari website: www.muslim.or.id,
www.almanhaj.or.id, www.remajaislam.com, dan berbagai sumber
lainnya ini bisa menjadi cahaya hati, pencerah jiwa dan pikiran, atau
penggugah semangat untuk memperbaiki diri, meski ada beberapa kiat yang berat untuk
dijalani di era modern ini. Semoga bermanfaat. :)
Obat Ketika Merindukan Si Dia yang Bukan Milik Kita
Tak bisa
disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan
memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang
dicintainya.
Kerinduan
kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si
pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh
orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak
kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena
tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms
jadi jalur alternatif.
Inilah
yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar
dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan.
Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat. Semoga
Allah senantiasa memberi taufik.
An-Nuur
Ayat : 30
![]() |
qul lilmu/miniina yaghudhdhuu
min abshaarihum wayahfazhuu furuujahum dzaalika
azkaa lahum
inna allaaha khabiirun
bimaa yashna'uuna
|
30.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat". [1]
|
Terapi dari Rasa Rindu
dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka
menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai
obat pengekang baginya.”[3]
Yang
dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai
usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara
bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri).
Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat
di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai
kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah.
Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah,
maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk
menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian
karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu
memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu
memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu,
maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi
maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk
memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria)
untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan
untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian
pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih
ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi
taufik.
Dari
sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna
memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang
selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah
mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak
keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka
menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berikut ini beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta,
namun, orang tersebut belum sanggup untuk menikah karena suatu alasan.
Berusaha untuk Ikhlas
dalam Beribadah
Ikhlas
adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas
menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu
dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan
nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Sungguh,
jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya,
niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah,
lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan
sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih
dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan
bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang
membahayakannya.”
Hati
yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan
serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang
meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap
do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera
dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi
dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو
بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ
بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ
يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ
مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim
memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan
silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal:
[1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya
di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang
semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau
begitu kami akan memperbanyak berdo’a.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]
Ketika
seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a,
merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk
di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit
rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang
menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu,
perbanyaklah do’a.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)
Mengelola Pandangan
Pandangan
yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga
terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja
jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah
yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin
Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ
أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera
memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid
mengatakan,
غَضُّ
الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal
yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”[7] Berarti menahan pandangan dari wanita
yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan
yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan
memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga
faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.[8]
Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa
meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih
baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat
yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam
situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan
memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai
pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk
memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang
bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah
kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah
bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya.
Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan
diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul
Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i.
Ia berkata,
وَنَفْسُكَ
إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak
tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan
hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari Nyanyian dan
Film Percintaan
Nyanyian
dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada
orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu
biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa
kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai
angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian,
sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum
ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan
oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu
Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan sayuran.”
Fudhail
bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah
mantera-mantera zina.”
Imam Asy
Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena
nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan
mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[11]
Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah
selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat
banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa
dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan
dalam lamuman.
Ibnul
Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran.
Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan
sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita
bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang
kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan
adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para
ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga
Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
[1] Al Qur'an Terjemahan.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya:
[1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh
Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no.
1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu
Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid
(bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul
Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy
Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar