Laman

Selasa, 06 November 2012

Emosi bukan akhlak mulia


Semakin hari, bumi semakin panas saja. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan di sekeliling kita. Suhu yang tinggi atau panas turut mempengaruhi emosi. Mengapa bisa demikian?

Emosi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Emosi memiliki berwujudan sesaat. 

Dalam istilah Islam, emosi dapat dikategorikan dengan akhlak. Orang yang baik adalah bila reaksi sesaatnya juga baik. Misalnya, ketika ada seseorang yang terantuk batu lalu mengatakan, “huh, sialan. Dasar batu nggak punya mata!” Menurut pembaca, kira-kira emosi apa yang dirasakan orang tadi? Marah. Ya, marah. Kesal pada batu. Coba bandingkan dengan ketika reaksinya dengan mengatakan, “Astaghfirullah….!” 

Menurut pembaca, emosi apa yang dirasakan orang tadi? Merasa bersalah karena kurang berhati-hati.

Jika Allah memberi mata pada batu, kira-kira apa yang akan terjadi? Janganlah selalu menyalahkan orang lain. Lihatlah pada diri sendiri. Sudahkah kita begitu sempurna? Sudahkah tidak pernah ada kesalahan yang kita lakukan? Tidak. Tak ada manusia yang sempurna. Mengapa harus selalu telunjuk menunjuk orang lain? Bukankah ketika satu telunjuk menunjuk orang lain, empat jari yang lain menunjuk diri sendiri?

Kembali pada akhlak dan emosi. Milikilah akhlak yang baik. Kelolalah emosi yang kita miliki. Tak ada untungnya mengumbar emosi. Tak ada untungnya hanya mengejar kesenangan sesaat. Pun tak ada ruginya menyenangkan orang lain. Kebaikan memiliki perilaku seperti bumerang. Ketika dilempar, ia akan kembali ke tempat semula, yakni pelempar. Kebaikan pun demikian. Sekali kita melakukan kebaikan, akibatnya mungkin tidak secara langsung, tetapi suatu hari nanti pasti akan kembali.

Jadi, mengapa masih saja harus mengedepankan emosi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar